Pages

Rabu, 21 Desember 2011

Jilbab dan Cadar Muslimah menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Dalam pembagian agama menurut bentuk sumbernya, Islam dikategorikan sebagai agama teks; dalam arti bahwa asas-asas umum yang menjadi landasan berdirinya agama tersebut bahkan juga doktrin-doktrinnya didasarkan pada dua teks yang otoritatif yakni al-Qur’ān dan al-Hadīs.1 Umat Islam sendiri telah bersepakat bahwa hadis Nabi SAW merupakan interpretasi praktis terhadap Al-Qur’an serta implementasi realistis dan ideal Islam.2 Dengan demikian kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an tidaklah dapat kita pungkiri sebagai umat Islam.3 Bahkan al-Syāfi’iy mengeluarkan tesis sebagaimana dikutip Daniel W. Brown4 bahwa sunnah5 berdiri sejajar dengan Al-Qur’an dalam hal otoritas karena “perintah Rasulullah adalah perintah Allah.”
Mengingat begitu besarnya kedudukan hadis di samping al-Qur’ān maka keberadaan dan autentitas hadis yang benar-benar berasal dari Nabi SAW menjadi kebutuhan yang signifikan; sehingga dalam hal ini para ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya melakukan berbagai upaya berupa penelitian atau kritik hadis.Hal ini terbukti dengan adanya usaha dari para sahabat dalam meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahannya serta tentang para rijal-nya.6 Seiring dengan berjalannya waktu, keilmuan hadis turut mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai metode yang lebih baik dan tajam karena semakin kompleksnya masalah yang menyelimuti hadis, di antaranya karena terjadi pemalsuan hadis7 baik yang didasari oleh kepentingan politik, agama (dakwah) ataupun kepentingan yang lainnya, juga kondisi (intelektual dan kualitas) periwayat hadis itu sendiri yang menuntut dilakukannya penelitian.
Pada abad ke-19 di mana hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama menguasai sebagian besar dunia muslim, maka masyarakat muslim terdorong untuk mengadakan reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Desakan reformasi ini menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali pondasi esensial kewenangan agama dalam Islam. Keprihatinan mengenai hadis Nabi SAW menjadi titik pusat dalam proses pengkajian ini.8 Dengan demikian penelitian kembali terhadap hadis mendapatkan tempat yang penting dalam khasanah keilmuan Islam di samping upaya penafsiran al-Qur’an, tak terkecuali pembahasan seputar hadis yang berhubungan dengan masalah jilbab.
Berbicara masalah jilbab tidak akan pernah lepas dari pembicaraan masalah wanita dan kedudukannya. Sedangkan  kajian tentang kedudukan wanita dalam Islam termasuk dalam bidang yang sensitif; karena persoalan wanita adalah persoalan masyarakat, persoalan masyarakat adalah persoalan umat dan negara. Maka pandangan masyarakat terhadap wanita dari masa ke masa tidak lepas dari tiga macam, yakni: pertama, masyarakat yang menghinakan kaum wanita sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jahiliyah, masyarakat Mesir kuno, dan lain-lain. Kedua, masyarakat yang selalu memanjakan kaum wanitanya, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat zaman kolonial Belanda di mana para wanita cantik pada saat itu dipenuhi semua kebutuhannya yang dapat menambah kecantikannya, namun mereka hanya dijadikan sebagai barang permainan yang tidak boleh dinikahi serta tidak mendapatkan hak apapun. Ketigaadalah masyarakat yang menghendaki emansipasi9 yakni masyarakat yang menghendaki persamaan derajat antara pria dan wanitanya.
Pengertian emansipasi ini sering menjadi kabur sehingga menghasilkan sifat dan tabi’at serta budi pekerti yang bertentangan dengan ajaran Islam. Orang sering memahami emansipasi dengan persamaan total antara laki-laki dan perempuan.10 Dalam pandangan Islam, wanita mempunyai tempat dan kedudukan terhormat sehingga mereka mempunyai persamaan dan tanggung jawab yang sama. Di antara penghormatan Islam terhadap wanita adalah dengan disyaria’atkannya jilbab bagi para muslimah, karena dengan demikian para wanita tidak menjadi bahan “tontonan” kaum lelaki yang bukan mahramnya.
Namun akibat perkembangan zaman, terjadilah perubahan standar moral dalam kehidupan masyarakat sehingga dekadensi moral dan rusaknya perilaku umat tidak dapat dihindari.Salah satu kerusakan yang semakin hari semakin tampak adalah semakin jauhnya perilaku kehidupan wanita dari nilai-nilai keislaman.11 Dalam hal kewajiban berhijab atau berjilbab, banyak di antara muslimah dibuat rancu dengan penafsiran-penafsiran yang muncul baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari luar Islam. Sehingga benarlah perkataan al-Żahabi sebagaimana dikutip Salim bin I’d al-Hilaliy bahwa hati itu lemah sedang syubhat adalah pencuri.12 Banyak sekali tulisan yang mengulas masalah hijab ataupun jilbab wanita muslimah dengan berbagai pendekatan dari berbagai latar belakang intelektual dan mażhab penulisnya.
Dalam skripsi ini peneliti berusaha mengeksplorasi pemikiran Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy13 dan Muhammad bin Şālih al-’Usaimīn14 seputar jilbab wanita muslimah. Keduanya merupakan ulama kontemporer dilihat dari masa atau zaman hidupnya-yakni sekitar abad 20; dan jika dilihat dari sisi pemikirannya, keduanya menggunakan manhaj atau metode ahlus sunnah wal jama’ah15 dalam menafsirkan ayat al-Qur’ān dan sunnah. Kedua tokoh ini berusaha memahami makna dari ayat-ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah dengan mengembalikan pada pemahaman para al-Salaf al-Şālih.Namun demikian, hasil yang mereka peroleh dari pemaknaan ayat maupun hadis seputar jilbab wanita muslimah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang menarik untuk dilakukan penelitian.
Bagi al-Albāniy pembahasan seputar jilbab muslimah merupakan hal yang sangat penting karena telah banyak wanita yang notabene muslimah terpedaya dengan peradaban Eropa. Para muslimah ini akhirnya bersolek dengan cara “jahiliyah pertama” dan menampakkan anggota tubuh mereka yang sebelumnya mereka malu untuk menampakkannya kepada bapak dan mahramnya.16
Fenomena inilah yang mendorong al-Albāniy untuk melakukan kajian yang serius tentang pakaian muslimah (baca: jilbab) dengan membuat beberapa syarat jilbab yang sesuai dengan syariat. Syarat-syarat tersebut beliau buat agar muslimah mempunyai pegangan yang jelas tentang pakaian yang sesuai dengan maksud syar’iy- meskipun sebagian syarat yang beliau buat tidaklah mutlak hanya untuk para wanita muslimah tetapi juga bagi laki-laki muslim.
Dalam masalah cadar (niqab), al-Albāniy menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib tetapi sunnah dan mustahab, dimana wanita yang mengenakan cadar berarti ia telah mngikuti jalan yang ditempuh istri-istri Rasulullah saw (ummāhatul mukminīn). Dalam kitabnya “Jilbāb al-Mar’ah Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah” al-Albāniy juga memberikan bantahan bagi mereka yang mewajibkan cadar.Menurut al-Albāniy, Jilbab adalah kain yang dipakai wanita di atas khimarnya.17
Lain halnya dengan al-Albāniy, al-’Usaimīn dalam karyanya “Risālah al-Hijāb” mengatakan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad saw untuk menyempurnakan akhlak. Adapun di antara akhlak yang disyariatkan ialah rasa malu,  sedangkan di antara jalannya adalah dengan berhijab serta menutup wajah karena wajah adalah sumber dari fitnah. Dengan kata lain al-’Usaimīn menyatakan bahwa wajibnya menutup muka atau mengenakan cadar bagi muslimah merupakan manifestasi dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jilbab. Al-’Usaimīn menambahkan, bahwa jika Allah memerintahkan untuk menjulurkan jilbab wanita muslimah sampai ke dada dan kaki-kaki mereka, tentunya menutupkan jilbab ke muka mereka itu lebih penting.18 Hal ini disebabkan karena wajah adalah sumber bagi orang lain untuk dapat mengatakan bahwa fulanah cantik.
Al-’Usaimīn dalam bukunya, selain memberikan definisi jilbab yang sama dengan al-Albāniy, juga menegaskan bahwa cadar adalah wajib bagi wanita muslimah dan memberikan bantahan bagi mereka yang menyelisihi pendapatnya. Baik al-Albāniy maupun al-’Usaimīn, keduanya mengembalikan masalah jilbab ini kepada al-Qur’ān dan Sunnah serta asar para sahabat dan salafussalih. Keduanya  melakukan kajian tentang masalah jilbab karena merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat ini khususnya para muslimah yang mulai meninggalkan perintah syariat yang diturunkkan Allah untuk menjaga kesucian mereka dan mengangkat derajat mereka..
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemaknaan dan pemikiran kedua tokoh tersebut seputar jilbab muslimah.Hal ini disebabkan karena di antara kedua tokoh ini terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pemikiran yang signifikan dalam memahami ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah. Alasan lain yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian masalah jilbab adalah karena pembahasan seputar  topik ini terus menarik untuk dilakukan pengkajian, di mana umat Islam sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan menjadi tempat persemaian bagi orang yang mengkampanyekan “slogannya”. Sehingga dalam keadaan ini tumbuhlah berbagai kebatilan dan orang-orang munafik turut berbicara dalam urusan umat ini, yang akhirnya muncul anggapan di antara wanita muslimah bahwa jilbab telah mengekang hidup dan karirnya. w

0 komentar:

Posting Komentar